“Ayah,kapan ayah pulang?”,ucap Rizki dengan begitu
polos.
Sukirman hanya tersenyum,lantas ia menjawab “secepatnya Rizki,Ayah sayang
Rizki”.
Merekapun berpelukan sambil disaksikan Mirna yang tersenyum bahagia
namun sinis,bahagia karena melihat sang suami dan anaknya begitu akrab dan
saling menyayangi,sinis lantaran sukiman,suaminya,akan pergi meninggalkan ia
dan anaknya untuk beberapa saat.
Sebagai
seorang relawan pecinta alam,Sukirman tergerak hatinya untuk turut berperan
memadamkan api di lereng wilis,kampung halamannya semasa kecil.Dengan langkah
gontai,tatapan sayu,ia bergegas meninggalkan keluarga kecilnya,dari
kejauhan tampak Rizki melambaikan tangan untuk mengucapka salam perpisahan bagi
sang ayah.Mobil angkot tua yang dikemudikan sopir berbadan kekar dengan logat
khas batak,menjadi pilihan pertamanya menuju kampung halaman.
Bersandingan
dengan wanita paruh baya yang nampak lelah usai berbelanja dari pasar.Sekarung
besar kebutuhan pokok,beberapa ikat daun singkong,bebeapa butir kelapa dengan
kulit kusam dan tergeletak dilantai angkot.Tak ada sepatah kta pun yang keluar
dri mulut sukirman,tatapanya kosong membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di
kampung halamanya.
Ia
masih mengingat masa dimana ia masih takut untuk pergi mengaji dan sekolah
sendirian,hutan lebat diiringi kicauan burung yang menggema berpadu indah
dengan musik alami karya garengpung
terbelah oleh jalan dengan aspal yang mulai rusak.Udara serasa sejuk meski matahari
bersinar terik,begitu tenang,damai jauh dari hiruk pikuk dan kesibukan kota
Pernah
suatu kali,saat ia harus pergi mengaji ia tak berangkat ke mushola,ia malah
bermain di sungai bersama beberapa kawan semasa kecilnya.Baju koko serta celana
panjang,mereka tanggalkan,sebuah batu besar di tepi sungai jadi tempat istimewa
untuk baju,celana serta buku “Iqra” mereka.Satu persatu mereka mencebukan diri
kedalam sungai jernih nan dingin,beberapa penggarap ladang yang lewat hanya
tersenyum melihat tingkah bocah-bocah lugu ini.Tanpa mereka sadari,kini mentari
mulai bersiap meninggalkan peraduannya,sukirman yang saat itu sudah menggigil
mengajak kawan-kawannya untuk pulang.Badan kecil yang meggigil dan gemetar itu
mendapat sambutan hangat dari sang ayah yang memang telah menunggu
kedatangannya.Teguran dengan nada rendah serta lotaran wejangan-wejangan
tertuju pada sukirman yang tlah meninggalkan kewajibannya untuk menuntut ilmu
agama.
Kini,27
tahun telah berlalu,ia bahkan tak sempat tahu apa yang sempat terjadi di tempat
peraduan semasa kecilnya itu.Sempat tersiar kabar,pembalak-pembalak nan agresif
meruntuhkan heningnya hutan lereng wilis,mengusik kedamaian yang selama ini
dijaga oleh warga penghuni lereng wilis.Sukirman merasakan sesak kian mendesak
dadanya kala melewati satu daerah memasuki kota Nganjuk,dari sana ia melihat
gunung yang masih berdiri tegak itu kini tak nampak ditumbuhi pepohonan
besar,padi yang menguning mendominasi warna wilis dari kejauhan.Disaat surya
bergerak meniggalkan pekerjaannya menyinari dunia,ia menyaksikan satu hal yang
tak pernah menjadi perhatiannya saat ia di kota.Sebuah pelajaran dari alam ia
petik,dalam hatinya ia bergumam “
ternyata ada kalanya kita harus berhenti sejenak dan memperhatikan sekita
kita,mempelajarinya sebagai hal baru dan bergerak lagi esok pagi untuk memberikan
perubahan pada orang-orang di sekitar
kita “.
Gunung Wilis tampak dari kejauhan. Photo By : Anto Agung Pratama |
Dari dalam hatinya,ia terus
merasakan gundah yang tak henti-hentinya merongrong pikirannya.Pandangannya kini
tertuju pada gunung wilis yang membara,bukan karena muntahan magma ataupu lava
pijar,melainkan karena kobaran api yang siap menghabiskan populasi lereng
wilis.
Sesampainya
di kampung halaman,ia langsung sungkem dan memeluk sang ibu yang memang telah
lama tak dikunjungiya sejak lebaran tahun lalu.Tangis haru memecah keheningan
kala Sukirman sampai di tempat sang Ibu,tak lama setelah melepas rindu dengan
sang ibu,Sukirman langsung bekumpul dengan bapak-bapak yang sedari tadi telah
bersiap menghentikan kobaran api yang melalap lereng wilis.
Namun,rupanya titik api telah menghabiskan semak dan pohon jati yang ditanam
warga sewaktu kampanye penghijauan.Sesampainya dilokasi kebakaran,mereka langsung bergerak membuat batasan
api dengan membakar semak dan rumput kering yang berfungsi agar api tak
meluas dan membakar lebih banyak lagi.Lantas mereka beramai-ramai memadamkan beberapa titik api dengan menggunakan ranting-ranting pohon yang masih hijau.
Sampai pagi menjelang,barulah sebaran titik api bisa dipadamkan.
Bersambung.........
Posted By :
0 komentar:
Posting Komentar