Minggu, 27 Mei 2012


“Ayah,kapan ayah pulang?”,ucap Rizki dengan begitu polos.
Sukirman hanya tersenyum,lantas ia menjawab “secepatnya Rizki,Ayah sayang Rizki”.
Merekapun berpelukan sambil disaksikan Mirna yang tersenyum bahagia namun sinis,bahagia karena melihat sang suami dan anaknya begitu akrab dan saling menyayangi,sinis lantaran sukiman,suaminya,akan pergi meninggalkan ia dan anaknya untuk beberapa saat.
                Sebagai seorang relawan pecinta alam,Sukirman tergerak hatinya untuk turut berperan memadamkan api di lereng wilis,kampung halamannya semasa kecil.Dengan langkah gontai,tatapan sayu,ia bergegas meninggalkan keluarga kecilnya,dari kejauhan tampak Rizki melambaikan tangan untuk mengucapka salam perpisahan bagi sang ayah.Mobil angkot tua yang dikemudikan sopir berbadan kekar dengan logat khas batak,menjadi pilihan pertamanya menuju kampung halaman.
                Bersandingan dengan wanita paruh baya yang nampak lelah usai berbelanja dari pasar.Sekarung besar kebutuhan pokok,beberapa ikat daun singkong,bebeapa butir kelapa dengan kulit kusam dan tergeletak dilantai angkot.Tak ada sepatah kta pun yang keluar dri mulut sukirman,tatapanya kosong membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di kampung halamanya.
                Ia masih mengingat masa dimana ia masih takut untuk pergi mengaji dan sekolah sendirian,hutan lebat diiringi kicauan burung yang menggema berpadu indah dengan musik  alami karya garengpung terbelah oleh jalan dengan aspal yang mulai rusak.Udara serasa sejuk meski matahari bersinar terik,begitu tenang,damai jauh dari hiruk pikuk dan kesibukan kota
                Pernah suatu kali,saat ia harus pergi mengaji ia tak berangkat ke mushola,ia malah bermain di sungai bersama beberapa kawan semasa kecilnya.Baju koko serta celana panjang,mereka tanggalkan,sebuah batu besar di tepi sungai jadi tempat istimewa untuk baju,celana serta buku “Iqra” mereka.Satu persatu mereka mencebukan diri kedalam sungai jernih nan dingin,beberapa penggarap ladang yang lewat hanya tersenyum melihat tingkah bocah-bocah lugu ini.Tanpa mereka sadari,kini mentari mulai bersiap meninggalkan peraduannya,sukirman yang saat itu sudah menggigil mengajak kawan-kawannya untuk pulang.Badan kecil yang meggigil dan gemetar itu mendapat sambutan hangat dari sang ayah yang memang telah menunggu kedatangannya.Teguran dengan nada rendah serta lotaran wejangan-wejangan tertuju pada sukirman yang tlah meninggalkan kewajibannya untuk menuntut ilmu agama.
                Kini,27 tahun telah berlalu,ia bahkan tak sempat tahu apa yang sempat terjadi di tempat peraduan semasa kecilnya itu.Sempat tersiar kabar,pembalak-pembalak nan agresif meruntuhkan heningnya hutan lereng wilis,mengusik kedamaian yang selama ini dijaga oleh warga penghuni lereng wilis.Sukirman merasakan sesak kian mendesak dadanya kala melewati satu daerah memasuki kota Nganjuk,dari sana ia melihat gunung yang masih berdiri tegak itu kini tak nampak ditumbuhi pepohonan besar,padi yang menguning mendominasi warna wilis dari kejauhan.Disaat surya bergerak meniggalkan pekerjaannya menyinari dunia,ia menyaksikan satu hal yang tak pernah menjadi perhatiannya saat ia di kota.Sebuah pelajaran dari alam ia petik,dalam hatinya ia bergumam “ ternyata ada kalanya kita harus berhenti sejenak dan memperhatikan sekita kita,mempelajarinya sebagai hal baru dan bergerak lagi esok pagi untuk memberikan perubahan  pada orang-orang di sekitar kita “.

View gunung wilis dari desa balongrejo "LiveCam"
Gunung Wilis tampak dari kejauhan.
Photo By : Anto Agung Pratama

Dari dalam hatinya,ia terus merasakan gundah yang tak henti-hentinya merongrong pikirannya.Pandangannya kini tertuju pada gunung wilis yang membara,bukan karena muntahan magma ataupu lava pijar,melainkan karena kobaran api yang siap menghabiskan populasi lereng wilis.
                Sesampainya di kampung halaman,ia langsung sungkem dan memeluk sang ibu yang memang telah lama tak dikunjungiya sejak lebaran tahun lalu.Tangis haru memecah keheningan kala Sukirman sampai di tempat sang Ibu,tak lama setelah melepas rindu dengan sang ibu,Sukirman langsung bekumpul dengan bapak-bapak yang sedari tadi telah bersiap menghentikan kobaran api yang melalap lereng wilis.
Namun,rupanya titik api telah menghabiskan semak dan pohon jati yang ditanam warga sewaktu kampanye penghijauan.Sesampainya dilokasi kebakaran,mereka langsung bergerak membuat batasan api dengan membakar semak dan rumput kering yang berfungsi agar api tak meluas dan membakar lebih banyak lagi.Lantas mereka beramai-ramai memadamkan beberapa titik api dengan menggunakan ranting-ranting pohon yang masih hijau.
Sampai pagi menjelang,barulah sebaran titik api bisa dipadamkan.

Bersambung.........
Posted By :

0 komentar:

Posting Komentar